Peralihan musim dan perubahan cuaca ekstrem dalam 4 (empat) tahun terakhir ini mempengaruhi ketahanan produk akuakultur maupun hasil tangkapan nelayan. Di beberapa daerah yang merupakan sentra perikanan air payau terutama udang merebak penyakit virus ikan.
Virus myo atau infectious myo necrosis virus (IMNV) maupun monodon baculo virus (MBV) menyerang hampir semua sentra areal tambak udang tradisional (windu) dan tambak udang intensif (vaname) serta usaha budi daya laut di Banyuwangi, Situbondo, Pasuruan, Sidorjo, Sumenep, dan Malang. Akibatnya ribuan petani tambak di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa Timur gulung tikar.
Realisasi ekspor udang asal Jawa Timur tahun 2009 mengalami penurunan yang besar sekitar 30 persen. Penurunan ekspor udang terbesar terjadi pada bulan Agustus yang mencapai 40 persen.
Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Musim tak terprediksi, panen ikan merosot, dan hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau enam bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.
Di pantura terjadi serangan penyakit bintik putih atau white spot syndrome virus(WSSV). Selain merusak tambak udang juga menghancurkan usaha budi daya laut seperti rumput laut, ikan kerapu dan kakap. Kegagalan Jawa Timur mempertahankan produksi perikanan tahun 2009 disebabkan tambak-tambak itu tidak didukung teknologi memadai, infrastruktur, peralatan, sarana irigasi, listrik, atau pun permodalan.
Selain itu air laut sebagai bahan baku yang digunakan untuk tambak tercemar berat dan tingkat keasamannya tinggi sehingga memudahkan virus berkembang biak. Udang sangat sensitive terhadap air yang tercemar dan perubahan suhu. Sehingga udang mudah terserang virus dan akhirnya mati.
Penurunan produksi hasil tambak semi intensif dan intensif dipengaruhi pula oleh kondisi tanah tambak akibat kontaminasi tumpukan kimia yang berasal dari konsentrat pakan ikan. Sementara itu menurunnya hasil produksi tambak udang tradisonal lebih diakibatkan faktor lingkungan. Rusaknya sebagian besar tanaman mangrove dan padang lamun di pesisir pantura adalah salah satu penyebabnya.
Kesulitan serius pun dialami ribuan nelayan akibat anomali iklim dan kondisi perairan yang overfishing di wilayah penangkapan ikan di perairan pantura maupun di perairan selatan Jawa Timur yang tergolong padat tangkap. Bentrok antar nelayan semi modern dan tradisonal di tengah laut memperebutkan wilayah tangkapan kerap terjadi dan sulit dihindari lagi. Nelayan jangan berharap saat ini bisa menangkap ikan tanpa alat bantu rumpon.
Menipisnya stok ikan di Selat Madura, Laut Jawa, dan Selat Bali memengaruhi hasil tangkapan nelayan yang berujung pada suplai ikan untuk industri pengolahan. Demikian halnya di Samudera Indonesia. Di samping fully exploited nelayan lokal harus bersaing dengan kapal asing yang memiliki peralatan penangkapan ikan lebih modern.
Cuaca ekstrim mengurangi waktu melaut nelayan dan penghasilan masyarakat pesisir. Di samping itu produksi hasil tangkapan nelayan pada tahun ini dan ke depan akan terganjal sertifikasi hasil tangkapan.
Indonesia terikat dalam regulasi Komisi Uni Eropa (UE). Dalam upaya penanggulangan IUU fishing dilakukan penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan. Mekanisme melarang masuknya produk yang diperoleh melalui IUU fishing adalah dengan pengaturan bahwa setiap produk perikanan yang masuk ke negara anggota UE harus dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan (SHT).
Regulasi tersebut mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010. Dengan adanya ketentuan ini hasil tangkapan nelayan akan diseleksi ketat oleh eksportir. Di tengah kesulitan yang mendera masyarakat pesisir sebaliknya impor produk perikanan mengalir deras.
Tahun 2008 impor perikanan meningkat 68 persen dibandingkan tahun 2007. Di tengah tren meningkatnya produk perikanan dari luar negeri itu kita belum memiliki regulasi impor untuk mengendalikan impor perikanan.
Bahkan, di Jawa Timur kenaikan impor produk perikanan dalam dua tahun terakhir ini sangat signifikan mencapai 300 persen lebih. Jika tahun 2007 volume impor 5.869 ton dengan nilai 8.953.699 dolar pada tahun 2008 volumenya meningkat menjadi 23.166 ton dengan nilai 38.319.632 dolar.
Ketiadaan aturan impor berpotensi membahayakan keamanan pangan konsumen, terganggunya pasar perikanan domestik, dan masuknya hama dan penyakit. Di samping itu impor perikanan khsususnya udang, rawan tindak kriminal, relebelling dan transhipment. Jika dibiarkan hal itu dikhawatirkan akan mematikan daya saing produk perikanan lokal.
Tidak adanya regulasi impor perikanan menjadi preseden buruk bagi Indonesia menghadapi perdagangan bebas. Sebab, sejak Januari tahun 2010 Asean - China menerapkan sepenuhnya perjanjian perdagangan bebas.
Dengan demikian keran impor produk perikanan semakin terbuka lebar dan ini adalah ancaman eksternal bagi produksi perikanan lokal dan kelangsungan hidup ratusan ribu petani tambak dan nelayan.
Posisi Jawa Timur sebagai barometer perikanan nasional di ujung tanduk. Kita tidak menginginkan nasibnya mengikuti jejak Bagan Siapi-api Sentra perikanan terbesar nasional yang kini hanya tinggal nama.
Sumber Detik.com
Posting Komentar
Posting Komentar